Sabtu, 12 April 2014

Sungguh, Aku Cinta Kamu - Cerpen Cinta

SUNGGUH, AKU CINTA KAMU
Karya Affin Tiara
Izal, begitu dipanggilnya. Siang ini dia berjanji dengan pacarnya yang bernama Amira, untuk pergi ke toko buku, maklum ia sedang liburan akhir semester.Ia masih bingung ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi mana.
“Mana sih Amira, udah ditunggu setengah jam nggak dateng-dateng.” Izal mencoba menghubungi Amira dengan ponselnya.

Hampir satu jam lebih ia di depan toko buku itu menunggu pacarnya. Tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang. Lalu ia memilih untuk pulang kerumah. Dengan perasaan sedih dan kecewa, ia membaringkan tubuhnya ke kasur dan berkali-kali menghubungi Amira.
***
 Enam bulan telah berlalu, sekarang ia sudah duduk di bangku Perguruan Tinggi. Masih sulit dirinya melupakan kekasihnya yang hilang secara tiba-tiba itu. Ia terlihat murung sehari-harinya.
Hingga suatu hari, saat ia berjalan ingin menuju kantin. Tiba-tiba ada seorang gadis yang menabraknya dari belakang. Brakk!! Mereka berdua terjatuh.
“Hati-hati dong lo kalo jalan. Nggak liat apa orang segede gini!” Kata Izal membentak gadis itu.
“Maaf. Gue buru-buru.” Gadis itu segera bangkit dan berlari meninggalkan. Izal segera bangkit dan berjalan lagi menuju kantin.
***

Pagi ini Izal tidak berangkat dengan motornya, karena motornya sedang di bengkel. Jadi, ia kuliah dengan menaiki bus.
“Ngapain juga motor gue pake rusak segala! Gue kan jadi!” Izal kesal, iamengetuk-ngetukkan jarinya ke paha. Tiba-tiba datang seorang gadis yang ingin menumpang bus juga.
“Elo! Lo kan yang...” Izal bangkit dari duduknya dan menunjukkan jarinya ke arah gadis itu.
“Iya, aku yang nggak sengaja nabrak kamu kemarin. Kan aku udah minta maaf.” Kata gadis itu kaget.

Izal duduk kembali ke tempatnya tadi.
“Kamu kuliah di Universitas yang sama denganku ya. Jurusan apa?” Gadis itu bertanya.
“Hubungan Internasional. Lo?”
“Aku di FISIP Jurusan Jurnalisme.”
“Wow, keren. Kita belum kenalan. Nama gue Izal, lo?”
“Aku Dinda.” Tidak beberapa lama, bus yang mereka tunggu datang.

***

Akhir pekan ini, Dinda ingin pergi ke taman kota. Tidak disangka ia melihat Izal, tetapi ia hanya melihatnya sekejap. Lalu Dinda duduk di kursi taman dekat taman bunga, membaca-baca buku. Ia mencoba melihat ke arah Izal yang tadi, tetapi Izal sudah tidak ada. Ketika ia memaling-malingkan kepalanya-ke belakang, ia mendapati Izal di belakangnya.
“Ya ampun! Kaget aku. Aku kira siapa.” Dinda terkaget, dan ia menjadi salah tingkah.
“Kamu tadi ngapain? Nengok-nengok begitu. Nyari aku ya?” Izal duduk di sebelah Dinda.
“Ih, apaan sih! Nggak lah, ngapain.” Dinda membaca bukunya lagi.
“Nggak usah bohong. Iya kan, nyari aku kan tadi?” Izal meledek Dinda. Membuat Dinda semakin salah tingkah.
“Nggak!! Ngapain nyari kamu.” Dinda sedikit salah tingkah namun ia tetap membaca bukunya.
“Iya, iya. Aku bercanda kok. Sering kesini ya?”
“Ya, nggak sering-sering juga. Kamu?” Tanya Dinda.
“Aku kan pindahan, jadi aku baru tahu tempat ini dari temenku.”
“Masak sih? Tempat ini asik banget lho, tenang, bikin pikiran fresh kalo kesini.”
“Ya makanya, kamu sering-sering ngajak aku kesini. Jadi aku tahu tempat-tempat yang asik di Bali. Itu novel ya?”
“Iya.”
“Kamu suka baca novel?”
“Iya, banget malah. Kamu?”
“Nggak terlalu suka sih, aku jarang baca buku.”
“Hehe, baca kok nggak suka.” Dinda tersenyum, dan menoleh ke Izal. Izal hanya tersenyum.
“Itu kamera ya? Kamu suka foto juga ya?” Izal menunjuk kamera yang dikalungkan di leher Dinda.
“Iya, Cuma iseng-iseng sih.” Dinda tersenyum-tetap membaca novelnya.
“Aku pinjem dong.” Dinda melepaskan kamernya dan memberikannya ke Izal.
“Bagus-bagus juga jepretanmu. Kita foto yuk.” Izal mengajak Dinda berfoto.
“Mana coba aku liat.“ Dinda mengambil kameranya yang dipegang Izal.

Mereka berdua bergantian berfoto.
“Duduk yuk, capek.” Ajak Dinda, dan mereka duduk dikursi tadi.
“Ih, sumpah, muka kamu lucu banget deh. Tuh liat hidung kamu. Hahaha, pipi kamu keliatan gendut banget.” Izal menunjukkan foto-foto yang tadi.
“Ih, kamu nih. Tuh liat muka kamu jelek banget.”
“Hahaha.. Masak sih? Ganteng begini dibilang jelek.”
“Emang jelek. Wekk!” Dinda menjulurkan lidahnya.
***

Siang ini Izal dan Dinda makan siang di kantin kampus, tidak seperti biasanya, mereka sering makan siang bersama diluar kampus.
“Aku kok belum pernah liat kamu jalan bersama sama cowok sih? Nggak punya cowok ya?” Izal menggoda Dinda.
“Enak aja, punya tau. Dia kuliah disini juga. anak Geologi.”
“Namanya siapa?”
“Rian.”
“Rian? Ya ampun itu mah temennya temenku. Orangnya yang pendek itu kan? Terus agak gundul rambutnya? Hahaha.” Izal menertawakan pacar Dinda.
“Ih, nggak tau!! Orangnya ganteng. Perhatian, sayang banget sama aku.” Dinda mencubit tangan Izal.
“Aduh, sakit tau. Iya, tapi orangnya pendek itu kan. Sama kamu aja tinggi-an kamu. Hahaha.” Tawa Izal seakan tidak bisa tertahan membayangkan Rian, pacar Dinda.
“Ih, nyebelin banget sih!! Emang kamu punya pacar. Nggak laku aja belagu!” Dinda menginjak kaki Izal dan mencubitnya lagi.
“Aduh!! Oke, oke.. damai. Punya dong, orang keren gini kok nggak punya cewek. Yang penting aku bukan orang pendek dan gundul ya.. Hahaha.” Izal menggoda Dinda lagi.
“Ih, nyebelin banget sih akamu!! Dia itu nggak gundul. Tapi Cuma rambutnya sedikit. Tuing,tuing... tuing, tuing... (suara HP Dinda).” Dinda pun mengangkat telefon dari Rian.
Halo, sayang.. Ada apa? (Dinda)
Kamu sekarang dimana sih?! Kemarin aku telefon nggak diangkat! (Rian)
Eh, iya maaf. HP ku kemarin mati,sayang. Jadi nggak bisa angkat telefon kamu. (Dinda)
Biasanya juga bisa. Sekarang kamu sama siapa?!! (Rian)
(Dinda menoleh sekelilingnya. Ia takut Rian mengetahui ia sedang bersama Izal.Dinda menolehkan pandangannya ke arah Izal. Lalu ia menepuk dahinya.) Ngapain pake tengok-tengok ke belakang segala? Ada yang salah, hah?! Lagi makan siang sama siapa!!? (Rian)
(Nih orang punya indra keenam kali ya?! Apa-apa yang aku lakuin dia bisa tahu!!)Kata Ddinda dalam hati.
Ya biasa aja dong ngomongnya!! Nggak usah bentak-bentak kenapa. Dasar pendek, gundul, sukanya marah-marah aja!! (Dinda)
Apa kamu bilang? Kalo gitu kita putus!! (Rian)
Oh, dengan senang hati. Kita putus!! (Dinda)

Dinda menutup telefonnya. Dan seisi kantin melihatnya. Lalu ia ke arah Izal duduk, dan menarik tangan Izal untuk meninggalkan kantin. Lalu mengajak Izal berjalan menuju Kafe dekat kampus mereka.
“Hahaha, akhirnya juga putus kan? Sama orang kaya gitu jangan mau. Hahaha.” Izal menggoda.
“Bisa-bisanya kamu ngomong gitu! Makanya kamu nggak laku!” Dinda segera duduk dan membanting tasnya ke meja kafe.
“Ye, laku tahu!”
“Siapa dia? Kamu aja nggak pernah ngenalin dia ke aku. Aku kan temenmu juga.” Dinda meminum kopi yang dipesannya.

Muka Izal mulai berubah.
“Iya, aku dulu pernah punya pacar. Namanya Amira, kita pacaran udah 2 tahun sejak kami kelas 2 SMA. Tapi waktu lulus SMA, tiba-tiba dia ninggalin aku, nggak ada kabar. Aku udah coba menghubungi dia, gimanapun caranya. Tapi aku bener-bener nggak tahu, dimana dia sekarang.”
“Ninggalin kamu? Ya ampun tega banget. Yang sabar ya.”
“Ya udah lah, yang berlalu udah biarin aja. Yuk minum.” Izal mengajak Dinda untuk minum.
“Udah kali. Haha.” Dinda menggoda Izal.
Mereka berdua sama-sama tertawa.
***

Hari demi hari Izal dan Dinda semakin akrab. Sore ini Dinda mengajak Izal untuk menemaninya ke Taman Lampion. Disana banyak sekali lampion, ya, namanya saja taman lampion.
“Bagus nggak, Zal?”
“Banget. Ternyata di Bali banyak tempat yang indah-indah kayak gini ya.”
“Duduk disini yuk.” Izal dan Dinda duduk di jembatan yang dibawahnya banyak lampion yang berwarna-warni.

Izal tersenyum—melihat wajah Dinda, sekali lagi tetap melihat wajah Dinda.
“Ngapain kamu ngliat aku kayak gitu. Biasa aja kali. Aku tahu kok, aku cantik kan?”
“Ye, GR banget.”
“Biarin, wekk!!” Dinda menjulurkan lidahnya ke Izal.
“Tempat ini indah, tambah indah kalau ada kamu.”

Dinda tersenyum, dan melihat Izal.
“Din, semenjak ada kamu, aku ngerasa beda. Aku lebih bisa nikmatin dunia ini. Aku nggak tau perasaan ini, tapi yang perlu kamu tahu. Kalau aku ada disamping kamu, aku merasa nyaman, sangat nyaman.”
“Apa kamu bilang?” Dinda terkejut mendengar itu dari Izal.
“Iya, aku rasa aku cinta kamu. Kamu gimana?” Tanya Izal ke Dinda.

Dinda tersenyum, melihat Izal lagi.
“Aku rasaa... Aku.. Aku nggak bilang enggak.” Lagi, Dinda tersenyum. Mereka berdua saling berpelukan.
“Aku lega dengernya, Din. Aku cinta kamu.”
Mereka berdua tetap berpelukan, suasana hening, penuh lampion. Seakan menyambut mereka, cinta mereka yang sedang meletup-letup.
***

Hari demi hari mereka lalui, seakan setiap hari tiada henti kisah cinta mereka berdua. Sampai suatu saat, saat mereka berdua makan di Kafe depan kampus, tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri mereka yang sedang asyik berbincang berdua.
“Hai.” Sapa cewek itu kepada mereka berdua. Dan cewek itu segera duduk di dekat Izal.
“Am..Amira!!” Izal terkejut. Ternyata cewek itu adalah Amira. Amira memeluk Izal.
“Emm, sebaiknya aku pergi ya. Sebentar lagi ada kelas.” Dinda melihat jam tangannya.
“Kamu siapa?” Tanya Amira kepada Dinda.
“Oh, aku? Aku temen, temennya Izal. Aku pergi dulu ya. Have fun!” Dinda segera meninggalkan mereka berdua. Ia segera menuju taman kota.
Dinda menangis di taman kota. Ia tidak menyangka masa lalu pacarnya, ya, pacarnya. Izal Ramaditya, itu akan kembali ke kehidupan mereka yang sedang dimabuk asmara seperti saat ini.
***

Hari demi hari dilewati Dinda dengan kepedihannya. Hari ini ia memilih untuk membaca buku di taman kampus. Tiba-tiba ada seseorang yang duduk disebelahnya. Dinda segera menoleh ke arah orang itu. Ternyata orang itu adalah Izal. Dinda segera menutup bukunya dan meninggalan Izal. Tapi Izal memegang tangan Dinda, sebelum Dinda meninggalkannya.
“Din, aku mau jelasin sesuatu sama kamu. Tolong, kamu dengerin aku.” Ujar Izal.

Dinda duduk di sebelah Izal-tanpa melihatnya.
“Sebenernya Amira itu Cuma mau pamitan sama aku. Dia minta maaf udah ninggalin aku dengan tiba-tiba waktu itu. Dia udah dijodohin sama orang tuanya, sama oranglain. Dia takut aku marah dan nggak setuju akan keputusan itu. Jadi, kamu jangan marah ya.” Jelas Izal panjang lebar.
“Itu beneran?” Kata Dinda.
“Ya bener lah, Din. Sungguh, aku cinta kamu. Masak aku bohong sama pacarku yang paling bawel ini?” Izal memeluk Dinda.
“Ih, apaan sih peluk-peluk! Emang udah di maafin?” Dinda melepaskan pelukan Izal-sambil tersenyum.
Izal memeluk Dinda lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar